Mengkaji Dampak Perubahan
Pasal-Pasal UUD 1945 di Masa Reformasi
Reformasi merupakan salah
satu kondisi besar yang dialami oleh bangsa Indonesia pada akhir kepemimpinan
Presiden Soeharto yang semula menganut sistem pemerintahan orde baru. Reformasi
di Indonesia ditandai dengan mundurnya kepemimpinan Presiden Soeharto yang
dilimpahkan kepada presiden BJ Habibie pada 12 Mei tahun 1998. Hal ini tentu
saja memberikan banyak sekali perubahan dari struktur kepemimpinan
aturan-aturan yang ada ada dan juga kondisi sosial ekonomi masyarakat pada
waktu itu. Banyaknya demonstrasi di berbagai wilayah di Indonesia yang
menjadikan moneter dan krisis keamanan semakin meresahkan banyak pihak. Pada
masa reformasi si ini memberikan kesempatan yang lebih luas kepada masyarakat
untuk dapat berkontribusi secara langsung dalam kegiatan demokrasi sehingga
tidak ada lagi kepemimpinan absolut dari eksekutif saja melainkan berusaha
untuk menyatupadukan ketiga kekuatan utama di sebuah pemerintahan yaitu lembaga
eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Hal ini dilakukan tidak lain
Dengan maksud menjunjung tinggi nilai luhur Pancasila dan undang-undang Dasar
1945 yang berharap agar cita-cita bangsa
dapat terwujud yaitu menciptakan segala hal yang terkandung dalam Pembukaan UUD
1945. Perubahan undang-undang yang telah
dilaksanakan sebanyak 4 kali (1999-2002) hingga kini berusaha untuk
menyesuaikan dengan identitas, jati diri, dan falsafah negara.
Amandemen pertama yang
dilaksanakan pada 14- 21 Oktober 1999 terdapat perubah sebanyak 9 pasal, yaitu
pasal 5, 7, 9, 13, 14, 15 17, 20, dan 21. Pada pasal 5 ayat 1 yang semula
berbunyi “Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.” yang diamandemen menjadi “Presiden berhak mengajukan rancangan
undangundang kepada Dewan Perwakilan Rakyat”. Perubahan ini
menunjukkan bahwasanya segala keputusan yang berkaitan dengan tata aturan
masyarakat haruslah dikaji oleh lembaga legislatif yang menyalurkan dan
mengutamakan aspirasi dari masyarakat dan dapat memberikan masukan (check
the trial and errors for balances). Sehingga peraturan tersebut berusaha
untuk memperoleh keputusan bersama yang sesuai dengan cita-cita atau nilai
bangsa. Akan tetapi dengan adanya kewenangan DPR/legisative power dalam
menentukan undang-undang seharusnya tetap diawasi dan memerlukan pesertujuan
bersama.
Beralih pada pembahasan
terkait perubahan pasal 7 yang menjelaskan bahwa kepemimpinan presiden setiap lima tahun sekali yang kemudian
berubah berubah dapat dipilih kembali pada periode selanjutnya. Kemudian diubah
menjadi periode kepemimpinan maksimal 2 kali dengan jangka waktu maksimal 10
tahun (2 x 5 tahun). Hal ini menunjukkan bahwasanya terdapat pembatasan
terhadap kekuasaan presiden yang diharapkan dapat mengoptimalkan kinerja dan
intergritas dari para pemimpin negara di Indonesia sehingga tidak ada lagi praktik
otoriter dalam kepemimpinan, penyelewengan kekuasaan, kediktatoran, dan
pengkultusan/penghormatan hanya kepada satu pihak saja.
Selanjutnya untuk pasal 9
terdapat penambahan ayat ke 2 yang menjamin bahwasanya apabila MPR ataupun DPR
tidak dapat melaksanakan sidang pelantikan, maka dari itu presiden beserta
wakil harus berjanji dan bersumpah dengan bersungguh-sungguh yang disaksikan
oleh pimpinan MPR dan Mahkamah Agung. Hal ini dimaksudkan agar terdapat
penegasan terhadap pentingnya terhadapa perjanjian jabatan seorang presiden sebagai
eksekutif agar dapat bersungguh-sungguh dalam menepati seluruh janji yang telah
diucapkannya melalui sumpah.Alasan lain yang mendasari pelantikan presiden harus
disaksikan oleh perwakilan dari MPR dikarenakan lembaga tinggi pada legislasi
yang setara dengan kekuasaan presiden dan waktu itu masih menganut supremasi
dari MPR sebelum adanya amandemen undang-undang.
Pada pasal ke 13 terdapat
amandemen ayat ke 2 yang mana disaat presiden mengangkat duta haruslah memperhatikan
dengan baik segala pertimbangan yang disampaikan oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
Selanjutnya pada pasal ke 13, terdapat penambahan ayat (ayat ke-3) yang
menjelaskan lebih lanjut terkait dengan penempatan masing-masing duta yang
telah dipilih harus berdasarkan izin dan pertimbangan dari DPR. Alasan yang
mendasari perubahan dan penambahan ayat pada pasal 13 ini adalah dikarenakan besarnya
peran bagi seorang duta yang mewakili nama besar Indonesia di luar negeri
dengan menjalankan berbagai macam tugas kenegaraan yang sifatnya sangatlah penting.
Oleh sebab itu, diperlukan adanya fit and proper test yang diselenggarakan
oleh DPR kepada calon duta untuk dapat mengetahui kemampuannya dan memberikan penempatan
yang sesuai dengan kriteria yang telah diminta (sesuai dengan klasifikasi).
Selanjutnya pada pasal 14
terdapat perubahan berupa memecahkan aturan yang semula grasi, amnesti, abolisi,
dan juga rehabilitasi diklasifikasikan menjadi dua ayat dengan grasi dan amnesti
memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung dan juga abolisi dan rehabilitasi dengan
mempertimbangkan Dewan Perwakilan Rakyat. Hal ini dimaksudkan untuk menjadikan
pembedaan terkait pemberian grasi dan amnesti dengan abolisi dan rehabilitasi yang
mana pada poin pertama berupa pengurangan dan penghapusan proses hukum yang
harus disetujui secara langsung oleh Mahkamah Agung, sedangkan pada poin kedua
lebih memfokuskan pada proses penghapusan hukuman yang kemudian dapat dilanjutkan
dengan proses pemulihan kondisi dan hak seseorang yang memerlukan pertimbangan
khusus dari DPR.
Berikutnya pada pasal 15
terdapat amandemen yang mengungkapkan bahwasanya Presiden dapat memberikan
penghargaan, tanda jasa, serta gelar kehormatan haruslah berdasarkan peraturan
yang telah ditetapkan oleh undang-undang. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan
klasifikasi yang jelas terkait bagaimanakah dan apa sajakah prosedur yang dapat
menjadikan seseorang tersebut berhak memperoleh penghargaan ataupun tanda jasa
tersebut. Perubahan pada pasal 17 ayat 2 merujuk pada klasifikasi setiap menteri
yang memegang urusan berbeda-beda dan terdapat pembagian tugas yang jelas dalam
rangka membantu kerja presiden yang tentu saja langsung bertanggung jawab dengan
presiden. Hal ini dimaksudkan agar terjadi pembagian kerja yang terstruktur dan
memiliki fokus dalam menjalankan kehidupan bernegara, misalnya saja pada bidang
keuangan, perekonomian, perdagangan, koperasi, pembangunan, pemuda dan olahraga,
serta lain-lain.
Beralih pada pasal 20
yang mengamandemen pada hampir seluruh ayat yang ada di dalamnya, yang semula
memiliki fokus pada undang-undang yang memerlukan persetujuan dari DPR; namun
bila tidak disetujui maka pada periode selanjutnya tidak diperkenankan untuk
mengajukannya kembali, memperoleh amandemen menjadi DPR memegang kekuasan dalam
membentuk undang-undang yang kemudian harus melalui perundingan dengan presiden
hingga mencapai kesepakatan bersama dan dapat secara langsung disahkan oleh
presiden; akan tetapi aturannya masih tetap sama apabila tidak mendapatkan
persetujuan dari DPR maka tidak diperkenankan untuk diajukan lagi pada periode
selanjutnya.
Terakhir, perubahan yang
terjadi di pasal 21 yang semula menyebutkan bahwasanya anggota DPR dapat memajukan
rancangan undang-undang dan bila tidak disetujui oleh DPR dan tidak mendapat
pengesahan presiden, maka rancangan ini tidak boleh diajukan kembali pada persidangan
selanjutnya, menjadi pembatasan kewenangan anggota DPR dalam mengajukan
usul atas rancangan undang-undang yang kemudian akan dibahas dengan DPR dan Presiden.
Oleh sebab itu, dapat disimpulkan
bahwasanya segala peraturan atau amandemen sebuah undang-undang akan disesuaikan
dengan situasi dan kondisi yang relevan dalam tata kehidupan bernegara. Selain
itu, dengan adanya amandemen ini tentu saja dapat mengefektifkan berbagai
peraturan yang memerlukan persetujuan bersama dengan wakil rakyat (DPR) dengan
diharapkan transparansi amandemen UUD 1945 ataupun berbagai peraturan lainnya
yang menyangkut kepentingan besar masyarakat di sebuah negara. Sehingga
diharapkan terdapat keselarasan dan meminimalkan kesenjangan di antara masyarakat
dengan pemerintahan dengan berlakuknya sebuah aturan ataupun undang-undang.
DAFTAR
PUSTAKA
Sumber Jurnal:
1.
Albertus Drepane Soge dan Max Boli Sabon.
2017. “KEWENANGAN DPR RI DALAM MENGAJUKAN RUU DALAM KURUN WAKTU TAHUN
2000-2014”. Fakultas Hukum Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya.
2.
UUD 1945 Perubahan. Badan Perencanaan Pembangunan
Nasional Republik Indonesia. https://www.bappenas.go.id/
Laman:
2.
https://smartlegal.id/smarticle/2018/11/26/perbedaan-grasi-amnesti-abolisi-dan-rehabilitasi/
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Terima kasih smart readers dan sobat dunia kampus yang telah mengunjungi blog kami.. Tunggu postingan selanjutnya ya.. Semoga bermanfaat dan sampai jumpa..
Terima kasih infonyaaa
ReplyDelete