Sunday, April 11, 2021

Analisis Dampak Amandemen I UUD 1945

Mengkaji Dampak Perubahan Pasal-Pasal UUD 1945 di Masa Reformasi

Reformasi merupakan salah satu kondisi besar yang dialami oleh bangsa Indonesia pada akhir kepemimpinan Presiden Soeharto yang semula menganut sistem pemerintahan orde baru. Reformasi di Indonesia ditandai dengan mundurnya kepemimpinan Presiden Soeharto yang dilimpahkan kepada presiden BJ Habibie pada 12 Mei tahun 1998. Hal ini tentu saja memberikan banyak sekali perubahan dari struktur kepemimpinan aturan-aturan yang ada ada dan juga kondisi sosial ekonomi masyarakat pada waktu itu. Banyaknya demonstrasi di berbagai wilayah di Indonesia yang menjadikan moneter dan krisis keamanan semakin meresahkan banyak pihak. Pada masa reformasi si ini memberikan kesempatan yang lebih luas kepada masyarakat untuk dapat berkontribusi secara langsung dalam kegiatan demokrasi sehingga tidak ada lagi kepemimpinan absolut dari eksekutif saja melainkan berusaha untuk menyatupadukan ketiga kekuatan utama di sebuah pemerintahan yaitu lembaga eksekutif,  legislatif,  dan yudikatif. Hal ini dilakukan tidak lain Dengan maksud menjunjung tinggi nilai luhur Pancasila dan undang-undang Dasar 1945 yang  berharap agar cita-cita bangsa dapat terwujud yaitu menciptakan segala hal yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945.  Perubahan undang-undang yang telah dilaksanakan sebanyak 4 kali (1999-2002) hingga kini berusaha untuk menyesuaikan dengan identitas, jati diri, dan falsafah negara.

Amandemen pertama yang dilaksanakan pada 14- 21 Oktober 1999 terdapat perubah sebanyak 9 pasal, yaitu pasal 5, 7, 9, 13, 14, 15 17, 20, dan 21. Pada pasal 5 ayat 1 yang semula berbunyi “Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.” yang diamandemen menjadi “Presiden  berhak mengajukan  rancangan  undang­undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat”. Perubahan ini menunjukkan bahwasanya segala keputusan yang berkaitan dengan tata aturan masyarakat haruslah dikaji oleh lembaga legislatif yang menyalurkan dan mengutamakan aspirasi dari masyarakat dan dapat memberikan masukan (check the trial and errors for balances). Sehingga peraturan tersebut berusaha untuk memperoleh keputusan bersama yang sesuai dengan cita-cita atau nilai bangsa. Akan tetapi dengan adanya kewenangan DPR/legisative power dalam menentukan undang-undang seharusnya tetap diawasi dan memerlukan pesertujuan bersama.

Beralih pada pembahasan terkait perubahan pasal 7 yang menjelaskan bahwa kepemimpinan presiden  setiap lima tahun sekali yang kemudian berubah berubah dapat dipilih kembali pada periode selanjutnya. Kemudian diubah menjadi periode kepemimpinan maksimal 2 kali dengan jangka waktu maksimal 10 tahun (2 x 5 tahun). Hal ini menunjukkan bahwasanya terdapat pembatasan terhadap kekuasaan presiden yang diharapkan dapat mengoptimalkan kinerja dan intergritas dari para pemimpin negara di Indonesia sehingga tidak ada lagi praktik otoriter dalam kepemimpinan, penyelewengan kekuasaan, kediktatoran, dan pengkultusan/penghormatan hanya kepada satu pihak saja.

Selanjutnya untuk pasal 9 terdapat penambahan ayat ke 2 yang menjamin bahwasanya apabila MPR ataupun DPR tidak dapat melaksanakan sidang pelantikan, maka dari itu presiden beserta wakil harus berjanji dan bersumpah dengan bersungguh-sungguh yang disaksikan oleh pimpinan MPR dan Mahkamah Agung. Hal ini dimaksudkan agar terdapat penegasan terhadap pentingnya terhadapa perjanjian jabatan seorang presiden sebagai eksekutif agar dapat bersungguh-sungguh dalam menepati seluruh janji yang telah diucapkannya melalui sumpah.Alasan lain yang mendasari pelantikan presiden harus disaksikan oleh perwakilan dari MPR dikarenakan lembaga tinggi pada legislasi yang setara dengan kekuasaan presiden dan waktu itu masih menganut supremasi dari MPR sebelum adanya amandemen undang-undang.

Pada pasal ke 13 terdapat amandemen ayat ke 2 yang mana disaat presiden mengangkat duta haruslah memperhatikan dengan baik segala pertimbangan yang disampaikan oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Selanjutnya pada pasal ke 13, terdapat penambahan ayat (ayat ke-3) yang menjelaskan lebih lanjut terkait dengan penempatan masing-masing duta yang telah dipilih harus berdasarkan izin dan pertimbangan dari DPR. Alasan yang mendasari perubahan dan penambahan ayat pada pasal 13 ini adalah dikarenakan besarnya peran bagi seorang duta yang mewakili nama besar Indonesia di luar negeri dengan menjalankan berbagai macam tugas kenegaraan yang sifatnya sangatlah penting. Oleh sebab itu, diperlukan adanya fit and proper test yang diselenggarakan oleh DPR kepada calon duta untuk dapat mengetahui kemampuannya dan memberikan penempatan yang sesuai dengan kriteria yang telah diminta (sesuai dengan klasifikasi).

Selanjutnya pada pasal 14 terdapat perubahan berupa memecahkan aturan yang semula grasi, amnesti, abolisi, dan juga rehabilitasi diklasifikasikan menjadi dua ayat dengan grasi dan amnesti memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung dan juga abolisi dan rehabilitasi dengan mempertimbangkan Dewan Perwakilan Rakyat. Hal ini dimaksudkan untuk menjadikan pembedaan terkait pemberian grasi dan amnesti dengan abolisi dan rehabilitasi yang mana pada poin pertama berupa pengurangan dan penghapusan proses hukum yang harus disetujui secara langsung oleh Mahkamah Agung, sedangkan pada poin kedua lebih memfokuskan pada proses penghapusan hukuman yang kemudian dapat dilanjutkan dengan proses pemulihan kondisi dan hak seseorang yang memerlukan pertimbangan khusus dari DPR.

Berikutnya pada pasal 15 terdapat amandemen yang mengungkapkan bahwasanya Presiden dapat memberikan penghargaan, tanda jasa, serta gelar kehormatan haruslah berdasarkan peraturan yang telah ditetapkan oleh undang-undang. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan klasifikasi yang jelas terkait bagaimanakah dan apa sajakah prosedur yang dapat menjadikan seseorang tersebut berhak memperoleh penghargaan ataupun tanda jasa tersebut. Perubahan pada pasal 17 ayat 2 merujuk pada klasifikasi setiap menteri yang memegang urusan berbeda-beda dan terdapat pembagian tugas yang jelas dalam rangka membantu kerja presiden yang tentu saja langsung bertanggung jawab dengan presiden. Hal ini dimaksudkan agar terjadi pembagian kerja yang terstruktur dan memiliki fokus dalam menjalankan kehidupan bernegara, misalnya saja pada bidang keuangan, perekonomian, perdagangan, koperasi, pembangunan, pemuda dan olahraga, serta lain-lain.

Beralih pada pasal 20 yang mengamandemen pada hampir seluruh ayat yang ada di dalamnya, yang semula memiliki fokus pada undang-undang yang memerlukan persetujuan dari DPR; namun bila tidak disetujui maka pada periode selanjutnya tidak diperkenankan untuk mengajukannya kembali, memperoleh amandemen menjadi DPR memegang kekuasan dalam membentuk undang-undang yang kemudian harus melalui perundingan dengan presiden hingga mencapai kesepakatan bersama dan dapat secara langsung disahkan oleh presiden; akan tetapi aturannya masih tetap sama apabila tidak mendapatkan persetujuan dari DPR maka tidak diperkenankan untuk diajukan lagi pada periode selanjutnya.

Terakhir, perubahan yang terjadi di pasal 21 yang semula menyebutkan bahwasanya anggota DPR dapat memajukan rancangan undang-undang dan bila tidak disetujui oleh DPR dan tidak mendapat pengesahan presiden, maka rancangan ini tidak boleh diajukan kembali pada persidangan selanjutnya, menjadi pembatasan kewenangan anggota DPR dalam mengajukan usul atas rancangan undang-undang yang kemudian akan dibahas dengan DPR dan Presiden.

Oleh sebab itu, dapat disimpulkan bahwasanya segala peraturan atau amandemen sebuah undang-undang akan disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang relevan dalam tata kehidupan bernegara. Selain itu, dengan adanya amandemen ini tentu saja dapat mengefektifkan berbagai peraturan yang memerlukan persetujuan bersama dengan wakil rakyat (DPR) dengan diharapkan transparansi amandemen UUD 1945 ataupun berbagai peraturan lainnya yang menyangkut kepentingan besar masyarakat di sebuah negara. Sehingga diharapkan terdapat keselarasan dan meminimalkan kesenjangan di antara masyarakat dengan pemerintahan dengan berlakuknya sebuah aturan ataupun undang-undang.  

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Sumber Jurnal:

1.            Albertus Drepane Soge dan Max Boli Sabon. 2017. “KEWENANGAN DPR RI DALAM MENGAJUKAN RUU DALAM KURUN WAKTU TAHUN 2000-2014”. Fakultas Hukum Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya. http://ejournal.atmajaya.ac.id/index.php/paradigma/article/view/1760/903

2.            UUD 1945 Perubahan. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Republik Indonesia. https://www.bappenas.go.id/

Laman:

1.            https://www.dpr.go.id/

2.            https://smartlegal.id/smarticle/2018/11/26/perbedaan-grasi-amnesti-abolisi-dan-rehabilitasi/

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Terima kasih smart readers dan sobat dunia kampus yang telah mengunjungi blog kami.. Tunggu postingan selanjutnya ya.. Semoga bermanfaat dan sampai jumpa..

1 comment: